Silahkan Download Silabus Sejarah peminatan Kelas X
Minggu, 21 Juni 2020
Sabtu, 20 Juni 2020
Menegakkan Panji Panji NKRI
Menganalisis Perkembangan dan Tantangan Awal Kemerdekaan
1.
Kondisi Awal Indonesia Merdeka
Secara
politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu mapan. Ketegangan, kekacauan, dan berbagai
insiden masih terus terjadi. Hal ini tidak lain
karena masih ada kekuatan asing yang tidak rela kalau Indonesia merdeka. Sebagai contoh rakyat Indonesia masih
harus bentrok dengan sisasisa kekuatan
Jepang. Jepang beralasan bahwa ia diminta oleh Sekutu agar tetap menjaga Indonesia dalam keadaan status quo.
Di samping menghadapi kekuatan
Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris atas nama Sekutu, dan juga NICA (Belanda) yang
berhasil datang kembali ke Indonesia dengan
membonceng Sekutu. Pemerintahan memang telah terbentuk,
beberapa alat kelengkapan negara juga sudah tersedia, tetapi karena baru awal kemerdekaan tentu masih banyak
kekurangan. PPKI yangkeanggotaannya sudah disempurnakan berhasil mengadakan
sidang untuk mengesahkan UUD dan memilih Presiden-Wakil
Presiden.
2.
Kedatangan Sekutu dan Belanda
Tentu kamu masih ingat
bagaimana Jepang menyerah kepada Sekutu. Penyerahan Jepang kepada Sekutu tanpa
syarat tanggal 14 Agustus 1945 membuat analogi bahwa Sekutu memiliki hak atas
kekuasaan Jepang di berbagai wilayah, terutama wilayah yang sebelumnya
merupakan jajahan negara-negara yang masuk dalam Sekutu. Belanda adalah salah
satu negara yang berada di balik kelompok Sekutu.
Bagaimana dampak kedatangan Sekutu ke Indonesia? Sekutu masuk ke
Indonesia melalui beberapa pintu wilayah Indonesia terutama daerah yang
merupakan pusat pemerintahan pendudukan Jepang seperti Jakarta, Semarang, dan
Surabaya. Setelah PD II, terjadi perundingan Belanda dengan Inggris di London
yang menghasilkan Civil Affairs Agreement. Isinya
tentang pengaturan penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada
Belanda, khusus yang menyangkut daerah Sumatra, sebagai daerah yang berada di
bawah pengawasan SEAC (South East Asia Command). Di dalam
perundingan itu
dijelaskan langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut.
1.
Fase pertama, tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer
untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban.
2.
Fase kedua, setelah keadaan normal, pejabat-pejabat NICA akan
mengambil alih tanggung jawab koloni itu dari pihak Inggris yang mewakili
Sekutu.
Setelah diketahui Jepang
menyerah pada tanggal 15 Agustus1945, maka Belanda mendesak Inggris agar segera
mensahkan hasil perundingan tersebut. Pada tanggal 24 Agustus 1945, hasil
perundingan tersebut disahkan.
Berdasarkan persetujuan Potsdam, isi Civil Affairs Agreement diperluas. Inggris
bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia termasuk daerah yang berada di bawah
pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas Command).
Setelah
informasi dan persiapan dipandang cukup, maka Louis Mountbatten membentuk
pasukan komando khusus yang disebut AFNEI (Allied Forces Netherlands East
Indiers) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Mereka tergabung di dalam pasukan tentara Inggris yang berkebangsaan India,
yang sering disebut sebagai tentara Gurkha. Tugas tentara AFNEI sebagai
berikut.
1.
Menerima penyerahan kekuasaan tentara Jepang tanpa syarat.
2.
Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu.
3.
Melucuti dan mengumpulkan orang-orang Jepang untuk dipulangkan
ke negerinya.
4.
Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai, menciptakan
ketertiban, dan keamanan, untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil.
5.
Mengumpulkan keterangan tentang penjahat perang untuk kemudian
diadili sesuai hukum yang berlaku.
Pasukan Sekutu yang
tergabung dalam AFNEI mendarat di Jakarta padatanggal 29 September 1945.
Kekuatan pasukan AFNEI dibagi menjadi tigadivisi, yaitu sebagai berikut.
- Divisi India 23 di bawah pimpinan Jenderal DC Hawthorn. Daerah tugasnya di Jawa bagian barat dan berpusat di Jakarta.
- Divisi India 5 di bawah komando Jenderal EC Mansergh bertugas di Jawa bagian timur dan berpusat di Surabaya.
- Divisi India 26 di bawah komando Jenderal HM Chambers, bertugas di Sumatra, pusatnya ada di Medan
3. Merdeka
atau Mati!
Kedatangan
Sekutu di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat Indonesia.
Apalagi dengan memboncengnya Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.
Hal ini mengakibatkan berbagai upaya penentangan dan perlawanan dari
masyarakat. Bagaimana peristiwa kekerasan akibat kedatangan Sekutu di Indonesia
terjadi? Mari kita simak kajian di bawah ini!
1. Perjuangan
rakyat Semarang dalam melawan tentara Jepang
Berita proklamasi terus
menyebar ke penjuru tanah air. Pemindahan kekuasaan dari pendudukan Jepang ke
Indonesia juga terus dilakukan. Pada tanggal 19 Agustus 1945, sekitar pukul
13.00 WIB berkumandang lewat radio tentang sebuah pernyataan dan perintah agar
pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang ke pihak Indonesia terus dilakukan. Hal
ini semakin membakar semangat para pemuda Semarang dan sekitarnya untuk
melakukan perebutan kekuasaan.
Suasana
di Semarang semakin panas. Jepang tidak menghiraukan seruannpemerintahan di
Semarang. Pada tanggal 7 Oktober 1945, ribuan pemuda Semarang mengerumuni
tangsi tentara Jepang, Kedobutai di Jatingaleh. Ketegangan antara kedua belah
pihak terus berlanjut. Pada tanggal 14 Oktober 1945, sekitar 400 orang tawanan
Jepang dari pabrik gula Cepiring diangkut oleh para pemuda ke penjara Bulu,
Semarang. Dalam perjalanan, sebagian dari para tawanan berhasil melarikan diri
dan minta perlindungan kepada batalion Kedobutai. Pada tanggal 14 Oktober 1945,
pada petang harinya, petugas kepolisian Indonesia yang menjaga persediaan air
minum di Wungkal diserang oleh pasukan Jepang. Mereka dilucuti dan disiksa di
tangsi Kedobutai Jatingaleh. Kemudian, di jalan Peterongan terdengar kabar
bahwa air ledeng di Candi telah diracuni oleh Jepang.
Para
pemuda berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya, di Magelang.
Tokoh Jepang ini ditahan oleh para pemuda. Hal ini semakin meningkatkan
kemarahan Jepang. Pada hari kedua dan ketiga Jepang berusaha dapat menguasai
daerah Semarang kembali. Dalam pertempuran itu Jepang membagi pasukannya
menjadi tiga kekuatan sebagai berikut.
1. Poros
Barat, sasarannya penduduk markas Kempetai di
Karangasem yang telah dikuasai para pemuda. Selain itu, juga untuk menghambat
gerakan bantuan pasukan dari Pekalongan dan Kendal.
2. Poros
Tengah, dengan sasaran menguasai markas AMRI di Hotel Du Pavillon.
3. Poros
Timur, dengan sasaran menduduki Sekolah Teknik dan mencegah datangnya bantuan
BKR dari Demak, Pati, dan Rembang. Sementara itu, dari pihak Indonesia telah
datang bantuan dari berbagai penjuru, baik dari arah Barat (Kendal dan Weleri),
juga dari Timur, seperti dari Demak, Kudus, Pati, Purwodadi, bahkan dari
Selatan seperti dari Solo, Magelang, dan Yogyakarta.
1. Pengambilalihan
kekuasaan Jepang di Yogyakarta
Di
Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26
September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai instansi pemerintah dan
perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi pemogokan.
Mereka memaksa orang-orang Jepang agar menyerahkan semua kantor mereka kepada
orang Indonesia. Pada tanggal 27 September 1945, KNI Daerah Yogyakarta
mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah itu telah berada di tangan Pemerintahan
RI. Kepala Daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang (Cokan) harus meninggalkan kantornya di jalan Malioboro.
Tanggal 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian
dijadikan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung
Nasional atau Gedung Agung.
1. Ribuan
Nyawa Arek Surabaya untuk Indonesia
Pada tanggal 25 Oktober
1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadier Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat
di Surabaya. Brigade ini adalah bagian dari Divisi India ke-23, di bawah pimpinan
Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas dari panglima Allied forces for Netherlands East Indies (AFNEI)
untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu.
Kedatangan mereka diterima secara enggan oleh pemimpin pemerintah Jawa Timur,
Gubernur Suryo. Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan
Mallaby, maka dihasilkan kesepakatan:
1. Inggris
berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda,
2. disetujui
kerjasama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman,
3. akan
segera dibentuk “Kontak Biro” agar kerjasama dapat terlaksana sebaik-baiknya,
dan
4. Inggris
hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ternyata pihak Inggris
mengingkari janjinya. Pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, peleton
dari Field Security Section di bawah pimpinan Kapten
Shaw, melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan
Kolonel Huiyer—seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda—beserta kawan-kawannya.
Tindakan Inggris dilanjutkan pada keesokan harinya dengan menduduki Pangkalan
Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek
vital lainnya.
Pada
tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata yang pertama antara pemuda
Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu meluas, sehingga terjadi
pertempuran pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945. Dalam pertempuran itu,
pasukan Sekutu dapat dipukul mundur, bahkan hampir dapat dihancurkan oleh
pasukan Indonesia. Beberapa objek vital yang telah dikuasai oleh pihak Inggris
berhasil direbut kembali oleh rakyat.
1. Pertempuran
Palagan Ambarawa
Pertempuran
Ambarawa terjadi pada tanggal 29 November dan berakhir pada 15 Desember 1945
antara pasukan TKR dan pemuda Indonesia melawan pasukan Inggris. Latar belakang
dari peristiwa ini dimulai dengan insiden yang terjadi di Magelang sesudah
mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal
20 Oktober 1945. Oleh pihak RI mereka diperkenankan untuk mengurus tawanan
perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Ternyata mereka diboncengi
oleh tentara Nederland Indische Civil Administration (NICA)
yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945
pecah insiden Magelang yang berkembang menjadi pertempuran antara TKR dan
tentara Sekutu. Insiden itu berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno dan
Brigadir Jenderal Bethell di Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka
mengadakan perundingan gencatan senjata dan tercapai katasepakat yang
dituangkan ke dalam 12 pasal, diantaranya:
1. Pihak
Sekutu tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya
melindungi dan mengurus evakuasi AlliedPrisoners War and
Interneers (APWI-tawanan perang dan interniran Sekutu).
2. Jalan
raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia – Sekutu
3. Sekutu
tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Ternyata
pihak Sekutu ingkar janji. Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah
pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara
Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu yang berada di Magelang
ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur. Namun tanggal 22
November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan
pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa. Pasukan
TKR bersama pemuda dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro bertahan di kuburan
Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan membelah
kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah Magelang pasukan TKR dan Divisi
V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melakukan serangan fajar pada
tanggal 21 November 1945 dengan tujuan memukul mundur pasuka Sekutu yang
berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam Adrongi berhasil menduduki Desa
Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya.
1. Pertempuran
Medan Area
Pada tanggal 9 November 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan
Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatra Utara. Pendaratan pasukan
Sekutu itu diboncengi oleh pasukan NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil
alih pemerintahan. Pemerintahan RI Sumatera Utara memperkenankan mereka
menempati beberapa hotel di Medan, seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel
Astoria dan lainya, karena menghormati tugas mereka. Sebagian dari mereka
ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat lainnya dengan
memasang tenda-tenda lapangan.
Sehari setelah mendarat,
Team dari RAPWI telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulu Berayan, Saentis,
Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi untuk membantu membebaskan para
tawanan dan dikirim keMedan atas persetujuan Gubernur M. Hasan. Ternyata
kelompok itu langsung dibentuk menjadi Medan Batalion KNIL. Dengan kekuatan
itu, maka tampaklah perubahan sikap dari bekas tawanan tersebut. Mereka
bersikap congkak karena merasa sebagai pemenang atas perang. Sikap ini
memancing timbulnya pelbagai insiden yang dilakukan secara spontan oleh para
pemuda. Insiden pertama terjadi di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober
1945. Insiden ini berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan
menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai oleh salah seorang yang
ditemuinya. Akibatnya hotel tersebut diserang dan dirusak oleh para pemuda.
2. Bandung
Lautan Api
Di
Bandung pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut pangkalan
udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW-sekarang
Pindad) dan berlangsung terus sampai kedatangan pasukan Sekutu di Bandung pada
17 Oktober 1945. Seperti halnya di kota-kota lain, di Bandung pun pasukan
Sekutu dan NICA melakukan teror terhadap rakyat, sehingga terjadi
pertempuran-pertempuran. Menjelang bulan November 1945, pasukan NICA semakin
merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan
kedatangan pasukan Sekutu
untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Tetapi semangat juang
rakyat dan para pemuda yang tergabung dalam TKR, laskar-laskar dan badan-badan
perjuangan semakin berkobar. Pertempuran demi pertempuran terjadi.
Pada
bulan Oktober di Bandung telah terbentuk Majelis Dewan Perjuangan yang dipimpin
panglima TKR, Aruji Kartawinata. Dewan perjuangan ini terdiri dari wakil-wakil
TKR dan berbagai kelaskaran. Pada tanggal 21 November 1945 Sekutu mengeluarkan
ultimatum agar para pejuang menyerahkansenjata dan mengosongkan Bandung Utara.
Ternyata ultimatum itu tidak diindahkan oleh pihak pejuang. Insiden terjadi,
para pemuda melakukan penyerobotan terhadap kendaraan-kendaraan Belanda yang
berlindung di bawah Sekutu. Penculikan juga sering terjadi.
3. Berita
Proklamasi di Sulawesi
Berita
proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Moh. Hatta, sampai pula di
Sulawesi. Sam Ratulangi, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi, yang
berkedudukan di Makasar mendapat tugas dari PPKI untuk menyusun Komite Nasional
Indonesia. sementara itu, para pemuda Sulawesi memperbanyak teks proklamsi
untuk disebarluaskan keseluruh pelosok penjuru. Atas inisiatif Manai Shopian
dkk, dibuat plakat proklamasi di rumah A. Burhanuddin dan di kantor
pewarta Celebes, yang kemudian diganti nama dengan Soeara Indonesia.
Saat
itu tentara Sekutu dengan cepat dapat menguasai Indonesia bagian Timur, termasuk
Sulawesi. Upaya Sam Ratulangi untuk menyampaikan berita proklamasi ke penjuru
Sulawesi mendapat halangan dari tentara Sekutu. Para pemuda mulai
mengorganisasi diri dan merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital. Pada
tanggal 28 Oktober 1945, kelompok pemuda yang tediri dari bekas Kaigun Heiho
dan pelajar SMP, bergerak menuju sasarannya dan mendudukinya. Akibat peristiwa
itu pasukan Australia yang telah ada, bergerak dan melucuti para pemuda. Sejak
itu pusat gerakan pemuda dipindahkan dari Ujungpandang ke Polombangkeng. Bahkan
Sam Ratulangi kemudian ditangkap oleh NICA dan diasingkan ke Serui, Papua.
Berita
proklamasi di Sulawesi Tenggara diterima di Kolaka, Kendari. Mulamulaberita
diterima oleh kalangan Kaigun dan Heiho yang dibawa oleh tentara Jepang. Saat
itu yang bertugas memimpin Heiho adalah Idie Heiso dan Sudamitsu Heiso.
Sementara berita proklamasi baru diketahui oleh rakyat Muna, saat Jepang
menyerahkan pemerintahan Muna kepada Ode Ipa yang kemudian meninggalkan Muna
menuju Kendari. Di Buton berita proklamsi diterima rakyat dari para pelayar
yang tiba dari Jakarta dan Bangka serta dari orang-orang Jepang yang datang ke
Makasar. Mula-mula berita itu diterima di Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Di
Sulawesi Tengah, berita proklamasi diterima pada tanggal 17 Agustus pada pukul
15.00 waktu setempat. Berita itu diterima Abdul Latief dari tentara Jepang yang
dikawal dari dua tentara heiho dari Sulawesi Selatan, yaitu Saleh Topetu dan
Djafar. Perwira itu mengatakan “ Bangsa Indonesia sudah merdeka”.
4. Operasi
Lintas Laut Banyuwangi – Bali
Operasi lintas Laut
Banyuwangi-Bali merupakan operasi gabungan dan pertempuran laut pertama sejak
berdirinya negara Republik Indonesia. peristiwa itu dimulai dengan kedatangan
Belanda dengan membonceng Sekutu, mendarat di Bali dengan jumlah pasukan yang
cukup besar, tanggal 3 Maret 1946. Hal ini dimaksudkan Bali sebagai batu
loncatan untuk menyerbu Jawa Timur yang dinilai sebagai lumbung pangan untuk
kemudian mengepung pusat kekuasaan RI. Bali juga dapat dijadikan penghubung ke
arah Australia.
Dengan
perkembangan di atas, maka telah mengalihkan konfrontasi dari Indonesia melawan
Jepang berganti menjadi Indonesia melawan Belanda. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka para pemimpin perjuangan yang sudah sampai di Jawa berusaha
mencari bantuan dan membentuk kesatuankesatuan tempur. Mereka antara lain telah
membentuk Pasukan Makardi atau Pasukan Merdeka sebagai pasukan induk. Pasukan
itu kemudian lebih dikenal dengan nama Pasukan M. Kapten Makardi sebelumnya
bertugas mendampingi Kolonel Prabowo, Kolonel Munadi dan Letkol I Gusti Ngurah
Rai ke markas besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan, karena makin
lemahnya kekuatan TRI Sunda Kecil di Bali.
Mengevaluasi
Perjuangan Bangsa: Antara Perang
dan
Damai
1. Perjanjian
Linggarjati
Perjanjian Linggarjati
merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indonesia untuk
memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan
diplomatik. Perjanjian itu melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta
Inggris sebagai penengah. Tokoh-tokoh dalam perundingan itu adalah Letnan
Jenderal Sir Philip Christison dari Inggris, seorang diplomat senior serta
mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang kemudian diangkat sebagai duta
istimewa Inggris untuk Indonesia.
Wakil dari
Belanda adalah Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik
Indonesia Sutan Sjahrir. Sebelumnya perundingan Linggarjati sudah dilakukan
beberapa kali perundingan baik di Jakarta maupun di Belanda. namun usaha-usaha
untuk mencapai kesepakatan belum memenuhi harapan baik bagi pihak Indonesia
maupun bagi pihak Belanda. Usaha itu mengalami kegagalan karena masingmasing
pihak mempunyai pendapat yang berbeda.
Pada
minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden dan konfrontasi dengan semakin
banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia. Konfrontasi itu menyebabkan
pihak sekutu ingin segara mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika
aksi-aksi kekerasan di kota besar di Indonesia, terutama pertempuran sengit di
Surabaya. Pihak sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetap tidak mungkin
melepaskan tanggungjawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan
untuk menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.
2. Perundingan
Awal di Jakarta
Pada tanggal I Oktober
1945, telah diadakan perundingan antara Christison (Inggris) dengan pihak
Republik Indonesia Dalam perundingan ini Christison mengakui secara de facto terhadap Republik Indonesia Hal ini pula
yang memperlancar gerak masuk Sekutu ke wilayah Indonesia. Kemudian, pihak pemerintah
RI pada tanggal 1 November 1945 mengeluarkan maklumat politik. Isinya bahwa
pernerintah RI menginginkan pengakuan terhadap negara dan pernerintah RI, baik
oleh Inggris maupun Belanda sebagaimana yang dibuat sebelum PD II.
Pemerintah
RI juga berjanji akan mengembalikan sernua milik asing atau memberi ganti rugi
atas milik yang telah dikuasai oleh pernerintah RI. Inggris yang ingin
melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugas-tugasnya di Indonesia,
mendorong agar segera diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda. Oleh
karena itu, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Di bawah pengawasan dan
perantaraan Clark Kerr, pada tanggaI 10 Februari 1946 diadakan perundingan
Indonesia dengan Belanda di Jakarta. Dalarn perundingan ini Van Mook selaku
wakil dari Belanda mengajukan usul-usul antara. lain sebagai berikut.
1. Indonesia
akan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi, memiliki pemerintahan
sendiri tetapi di dalarn lingkungan Kerajaan Nederland (Belanda).
2. Masalah
dalam negeri di urus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri ditangani
oleh pernerintah Belanda.
3. Sebelum
dibentuk persemakmuran, akan dibentuk pemerintahan peralihan selama sepuluh
tahun.
4. Indonesia
akan dimasukkan sebagai anggota PBB.
Ternyata mayoritas suara
anggota KNIP menentang kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Syahrir. Oleh
karena itu, Kabinet Syahrir jatuh. Presiden Sukarno kemudian menunjuknya
kembali sebagai Perdana Menteri. Kabinet Syahrir II teribentuk pada tanggal 13
Maret 1946. Kabinet Syahrir II mengajukan usul balasan dari usul-usul Van Mook.
Usul-usul Kabinet Syahrir II antara lain sebagai berikut :
- RI harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah Hindia Belanda.. Federasi Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu. Mengenai urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas orang-orang Indonesiadan Belanda.
- Tentara Belanda segera ditarik kembali dari republik.
- Pemerintah Belanda harus-membantu pemerintah Indonesia untuk menjadi anggota PBB.
- Selama perundingan sedang terjadi, semua aksi militer harus dihentikan.
3. Perundingan
Hooge Valuwe
Perundingan dilanjutkan
di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Pokok pembicaraan
dalam perundingan itu adalah memutus pembicaraan yang dilakukan di Jakarta oleh
Van Mook dan Syahrir. Sebagai penengah dalam perundingan, Inggris mengirim Sir
Archibald Clark Kerr. Pada kesempatan itu Syahrir mengirim tiga orang delegasi
dari Jakarta, yaitu Mr. W. Suwandi, dr. Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo.
Mereka berangkat bersama Kerr pada 4 April 1946. Dari Belanda hadir lima orang
yaitu Van Mook, J.H. van Royen. J.H.Logeman, Willem Drees, dan Dr.
Schermerhorn. Perundingan tersebut untuk menyelesaikan perundingan yang tidak
tuntas saat di Jakarta.
Kegagalan
perundingan Hooge Valuwe bagi kedua negara membawa untuk dilakukan kembali
perundingan selanjutnya. Bagi Indonesia perundingan Hooge Valuwe memperkuat
posisi Indonesia didepan Belanda. Perundingan itu juga menjadikan masalah
Indonesia menjadi perhatian dunia internasional. Perundingan itu pula yang
mengantarkan pada diplomasi internasional dalam Perjanjian Linggarjati pada
kemudian hari.
1. Pelaksanaan
Perundingan Linggarjati
Kegagalan dalam
perundingan Hoge, pada April 1946, menjadikan pemerintah Indonesia untuk
beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia berpendapat perlu melakukan
serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan
Sumatera. Namun genjatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara lama dan
gerilya tidak membawa perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah
semakin tinggi dengan banyaknya korban yang berjatuhan. Untuk mencagah
bertambahnya korban pada bulan Agustus hingga September 1946 direncanakan untuk
menyusun konsep perang secara defensif. Bagi Sukarno, Hatta, dan Syahrir
perlawan dengan strategi perang defentif itu lebih beresiko dibandingkan dengan
cara-cara lama, karena akan memakan korban lebih banyak lagi. Menurut mereka
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia lebih baik dilakukan dengan jalan
diplomasi.
Dalam perundingan itu
dihasilkan kesepakatan yang terdiri dari 17 pasal. Isi pokok Perundingan
Linggarjati antara lain sebagai berikut :
1. Pemerintah
Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan
RI atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera. Daerahdaerahyang diduduki Sekutu
atau Belanda secara berangsur-angsurakan dikembalikan kepada RI.
2. Akan
dibentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi seluruh wilayah Hindia
Belanda (Indonesia) sebagai negara berdaulat.
3. Pemerintah
Belanda dan RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh raja
Belanda.
4. Pembentukan
NIS dan Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949.
5. Pemerintah
RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi hak milik asing.
6. Pemerintah
RI dan Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara.
7. Bila
terjadi perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini, akan menyerahkan
masalahnya kepada Komisi Arbitrase.
1. Konferensi
Malino
Dalam situasi politik
yang tidak menentu di Indonesia, Belanda melakukan tekan politik dan militer di
Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi Malino,
yang bertujuan untuk membentuk negara-negara federal di daerah yang baru
diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Disamping itu, di
Pangkal Pinang, Bangka diselenggarakan konferensi untuk golongan minoritas.
Konferensi Malino diselenggarakan pada 15-26 juli 1946, sedangkan Konferensi
Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Diharapkan daerah-daerah ini akan mendukung
Belanda dalam pembentukan negara federasi. Di samping itu, Belanda juga terus
mengirim pasukannya memasuki Indonesia. Dengan demikian kadar permusuhan antara
kedua belah pihak semakin meningkat. Namun usahausaha diplomasi terus
dilakukan. Sebagai contoh tanggal 14 Oktober 1946 tercapai persetujuan gencatan
senjata. Usaha-usaha perundingan pun terus diupayakan.
Rapat itu diberi nama Bijeenkomst voor federal
Overleg (BFO), yaitu suatu pertemuan untuk Musyawarah Federal.
Pengambil inisiatif BFO itu adalah Ida Agung Gde Agung, seorang perdana menteri
Negara Indonesia Timur. juga R.T. Adil Puradiredja, seorang perdana menteri
Negara Pasunan. BFO itu dimaksudkan untuk mencari solusi dari situasi politik
yang genting akibat dari perkembangan politik antara Belanda dan RI yang juga
berpengaruh pada perkembangan negara-negara bagian. Pertemuan Bandung juga
dirancang untuk menjadikan pemerintahan peralihan yang lebih baik daripada
pemerintahan Federal Sementara buatan Van Mook. (kamu dapat membaca lebih
lanjut tentang peran BFO dalam perjuangan diplomasi pada buku Taufik Abdullah
dan A.B.Lapian (ed) atau buku-buku yang lain).
2. Agresi
Militer Belanda I
Di tengah-tengah upaya
mencari kesepakatan dalam pelaksanaan isi Persetujuan Linggarjati, ternyata
Belanda terus melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan isi
Persetujuan Linggarjati. Di samping mensponsori pembentukan pemerintahan
boneka, Belanda juga terus memasukkan kekuatan tentaranya. Belanda pada tanggal
27 Mei 1947 mengirim nota ultimatum yang isinya antara lain sebagai berikut.
1. Pembentukan
Pemerintahan Federal Sementara (Pemerintahan Darurat) secara bersama.
2. Pembentukan
Dewan Urusan Luar Negeri.
3. Dewan
Urusan Luar Negeri, bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan
devisa.
4. Pembentukan
Pasukan Keamanan dan Ketertiban Bersama (gendarmerie),
Pembentukan Pasukan Gabungan ini termasuk juga di wilayah RI.
Pada tanggal 21 Juli 1947
tengah malam, pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisional’ mereka yang pertama.
Pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat,
dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan
pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian Belanda
menguasai semua pelabuhan di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di
sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batu bara di sekitar Palembang
dan Padang diamankan. Pasukan-pasukan Republik bergerak mundur dalam
kebingungan dan menghancurkan apa saja yang dapat mereka hancurkan.
3. Komisi
Tiga Negara sebagai mediator yang berharga
Masalah Indonesia-Belanda
telah dibawa dalam sidang-sidang PBB. Hal ini menunjukkan bahwa masalah
Indonesia telah menjadi perhatian bangsabangsa dunia. Kekuatan Indonesia di
forum internasionalpun semakin kuat dengan kecakapan para diplomator Indonesia
yang meyakinkan negara-negara lain bahwa kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya
dimiliki bangsa Indonesia. Tentu saja bahwa kepercayaan bukan disebabkan oleh
para diplomator saja. Perjuangan rakyat Indonesia adalah bukti bahwa
kemerdekaan merupakan
kehendak seluruh rakyat Indonesia. PBB sebagai organisasi internasional
berperan aktif menyelesaikan konflik antara RI dengan Belanda. Berikut ini
beberapa peran PBB dalam penyelesaian konflik Indonesia Belanda
4. Perjanjian
Renville
Komisi Tiga Negara tiba
di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947 dan segera melakukan kontak dengan
Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan Belanda tidak mau mengadakan pertemuan
di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, Amerika
Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di geladak Kapal Renville milik
Amerika Serikat. Indonesia dan Belanda kemudian menerima tawaran Amerika
Serikat.
Perundingan Renville
secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di kapal Renville yang sudah
berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir
Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Wijoyoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda. Dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya Indonesia menyetujui isi Perundingan Renville yang
terdiri dari tiga hal sebagai berikut.
1. Persetujuan
tentang gencatan senjata yang antara lain diterimanya garis demarkasi Van Mook
(10 pasal).
2. Dasar-dasar
politik Renville, yang berisi tentang kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan
pertikaiannya dengan cara damai (12 pasal)
3. Enam
pasal tambahan dari KTN yang berisi, antara lain tentang kedaulatan Indonesia
yang berada di tangan Belanda selama masa peralihan sampai penyerahan
kedaulatan (6 pasal).
5. Agresi
Militer II : Tekad Belanda Melenyapkan RI
Sebelum macetnya
perundingan Renville sudah ada tanda-tanda bahwa Belanda akan melanggar
persetujuan Renville. Oleh karena itu pemerintah RI dan TNI sudah
memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan malakukan aksi militernya
untuk menghancurkan RI dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi kekuatan
Belanda, maka dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang dipimpin oleh
A.H. Nasution dan Hidayat.
Seperti yang telah diduga
sebelumnya, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang
kedua. Sebelum pasukan Belanda begerak lebih jauh, Van Langen (wakil jenderal
Spoor) berbisik kepada Van Beek (komandan lapangan agresi II): “overste tangkap
Sukarno, Hatta, dan Sudirman, mereka bertiga masih ada di istana”, demikian
perintah pimpinan Belanda terhadap ketiga pimpinan nasional kita. Agresi
militer II itu telah menimbulkan bencana militer maupun politik bagi mereka
walaupun mereka tampak memperoleh kemenangan dengan mudah. Dengan taktik perang
kilat, Belanda melancarkan serangan di semua front RI. Serangan diawali dengan
penerjunan pasukan-pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo dan dengan cepat
berhasil menduduki ibu kota Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota, meskipun mereka tahu akan
ditawan musuh. Alasannya, agar mereka dengan mudah ditemui oleh TNI, sehingga kegiatan
diplomasi dapat berjalan terus. Disamping itu, Belanda tidak mungkin
melancarkan serangan secara terusmenerus, karena Presiden dan wakil Presiden
sudah ada di tangan musuh.
6. Peranan
PDRI sebagai Penjaga Eksistensi RI
Pada saat terjadi agresi
militer Belanda II, Presiden Sukarno telah membuat mandat kepada Syafruddin
Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintah
darurat. Sukarno mengirimkan mandat serupa kepada Mr. Maramis dan Dr. Sudarsono
yang sedang berada di New Delhi, India apabila pembentukan PDRI di Sumatra
mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin berhasil mendeklarasi berdirinya
Pemerintah Darurat Republik
Indonesia ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 19 Desember
1948.
Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut.
Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut.
1. Mr.
Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap PerdanaMenteri, Menteri
Pertahanan dan Menteri Penerangan.
2. Mr.
T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pendidikan, dan Menteri Agama.
3. Ir.
S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan dan
Pemuda.
4. Mr.
Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman.
5. Ir.
Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan.
6. Maryono
Danubroto sebagai Sekretaris PDRI.
7. Jenderal
Sudirman sebagai Panglima Besar.
8. Kolonel
A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa.
9. Kolonel
Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra.
PDRI yang dipimpin oleh
Syafruddin Prawiranegara ternyata berhasil memainkan peranan yang penting dalam
mempertahankan dan menegakkan pemerintah RI.
7. Terus
memimpin gerilya
Kalau para pemimpin
pemerintahan seperti Presiden Sukarno, wakil Presiden Moh. Hatta dan beberapa
menteri ditangkap Belanda, Panglima Besar Sudirman yang dalam kondisi sakit
paru-paru justru memimpin perang gerilya. Ia dan rombongan melakukan perjalanan
dan pergerakan dari Yogyakarta menuju Gunungkidul dengan melewati beberapa
kecamatan, menuju Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek dan Kediri.
Dalam gerakan gerilya dengan satu paru-paru Sudirman kadang harus ditandu atau
dipapah oleh pengawal masuk hutan, naik gunung, turun jurang harus memimpin
pasukan, memberikan motivasi dan komando kepada TNI dan para pejuang untuk
terus mempertahankan tegaknya panji-panji NKRI. Dari Kediri lalu memutar
kembali melewati Trenggalek, terus melakukan perjalanan sampai akhirnya di
Sobo. Di tempat ini telah dijadikan markas gerilya sampai saat Presiden dan
wakil Presiden dengan beberapa menteri kembali ke Yogyakarta. Sungguh heroik
perjalanan Sudirman. Ia telah menempuh perjalanan kurang lebih 1000 km. Waktu
gerilya mencapai enam bulan dengan penuh derita, lapar dan dahaga. Sudirman
tidak lagi memimikirkan harta, jiwa dan raganya semua dikorbankan demi tegaknya
kedaulatan bangsa dan Negara.
8. Peranan
Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk Menunjukkan Eksistensi TNI
Pihak Belanda ternyata
tidak mau segera menerima resolusi DK PBB, tanggal
28 Januari 1949. Belanda
masih mengakui bahwa RI sebenarnya tinggal nama. RI sudah tidak ada, yang ada
hanyalah para pengacau. Sementara itu, Sri Sultan Hamengkubuwana IX lewat radio
menangkap berita luar negeri tentang rencana DK PBB yang akan mengadakan sidang
lagi pada bulan Maret 1949, untuk membahas perkembangan di Indonesia. Sri Sultan berkirim surat
kepada Jenderal Sudirman tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap
Belanda. Sudirman minta agar Sri Sultan membahasnya dengan komandan TNI
setempat, yakni Letkol Soeharto. Segera penyerangan terhadap Belanda di
Yogyakarta dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949 dini hari.Walaupun hanya sekitar
enam jam pasukan Indonesia berhasil mendudukikota Yogyakarta, namun
serangan ini sangat berarti bagi bangsa Indonesia. Selain mengobarkan
semangat rakyat kembali juga menunjukkan kepada dunia bahwa negara
Indonesia masih mempunyai kekuatan. Pada waktu itu di Yogyakarta ada
beberapa wartawan asing yang peranannya sangat besar dalam menginformasikan
keadaan Indonesia kepada dunia.
9. Belanda
semakin terjepit dalam Persetujuan Roem- Royen
Serangan Umum 1Maret 1949
yang dilancarkan oleh para pejuang Indonesia, telah membuka mata dunia bahwa
propaganda Belanda itu tidak benar. RI dan TNI masih tetap ada. Namun Belanda
tetap membandel dan tidak mau melaksanakan resolusi DK PBB 28 Januari.
Perundingan pun menjadi macet. Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap
tegas dan terus mendesak agar Belanda mau melaksanakan resolusi tanggal 28
Januari. Amerika Serikat berhasil mendesak Belanda, untuk mengadakan
perundingan dengan Indonesia.
Merle Cochran, wakil dari
AS di UNCI mendesak agar Indonesia mau melanjutkan perundingan. Waktu itu
Amerika Serikat menekan Indonesia, kalau Indonesia menolak, Amerika tidak akan
memberikan bantuan dalam bentuk apa pun. Perundingan segera dilanjutkan pada
tanggal 1 Mei 1949. Kemudian pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai Persetujuan
Roem-Royen. Isi Persetujuan Roem-Royen antara lain sebagai berikut.
1. Pihak
Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata
untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan Ikut serta dalam Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag, guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada
Negara Indonesia Serikat (NIS), tanpa syarat.
2. Pihak
Belanda menyetujui kembalinya RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian
gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. Belanda juga
berjanji tidak akan mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah
kekuasaan RI sebelum Desember 1948, serta menyetujui RI sebagai bagian dari
NIS.
Setelah pemerintah RI
kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang Kabinet
RI yang pertama. Pada kesempatan itu, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan
mandatnya kepada wakil presiden Moh. Hatta. Dalam sidang kabinet juga
diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkobuwono IX menjadi Menteri Pertahanan
merangkap Ketua Koordinator Keamanan.
Langganan:
Postingan (Atom)