Selasa, 18 Agustus 2020

Perang Melawan Keserakahan Eropa

 

Perang Melawan Keserakahan Kongsi Dagang (abad ke-16 sampai abad ke-18)



Perang Melawan Keserakahan Kongsi Dagang
(abad ke-16 sampai abad ke-18)

perang melawan kongsi dagang abad 16-18

1. Aceh Versus Portugis dan VOC

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman. oleh karena itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh.
Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul pada tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun berada. Misalnya, pada saat kapal-kapal dagang Aceh sedang berlayar di Laut Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal-kapal Portugis untuk ditangkap. Tindakan Portugis telah merampas kedaulatan Aceh yang ingin bebas dan berdaulat berdagang dengan siapa saja
Langkah-langkah Aceh dalam menghalau tentara Portugis, antara lain:

  • Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit
  • Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567
  • Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara


Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat. Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya.
·         Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit
  • Pasukan kavaleri (pasukan berkuda)dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia, bahkan Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri (pasukan muda yang berjalan kaki di sekeliling para ksatria yang  menunggang kuda)
  • Pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan
  • Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda.
  • Namun, serangan Aceh kali ini juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka
  • Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi
  • Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
  • Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah VOC (Belanda)
2. Maluku Angkat Senjata

Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1512. Mereka memusatkan aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orang-orang Spanyol tahun 1521 juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak.Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan Spanyol bersahabat dengan Tidore.
 
Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung (kapal layar) dari Banda yang akan membeli cengkeh ke Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis.
Dalam perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan, dan akhirnya Portugis mendapat kemenangan. Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku.Upaya monopoli terus dilakukan. Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat.

Untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol dilaksanakan perjanjian damai, yakni Perjanjian Saragosa. Dengan adanya Perjanjian Saragosa kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat dan juga semakin mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku
Pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun. Penyebab munculnya perlawanan antara portugis dan ternate, yaitu:
   1. Portugis memonopoli maluku
   2. adanya campur tangan Portugis dalam urusan pemerintahan
   3. Bangsa Portugis menyebarkan agama Kristen Katolik
   4. Kesombongan Portugis dalam memandang rendah penduduk Maluku

Sultan Hairun menyerukkan semua rakyat dari Papua sampai Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman Portugis. Portugis mulai kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis. Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis. Pada saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Hairun ditangkap dan dibunuh.
Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Hairun). Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis. 

Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon sampai tahun 1605. Tahun itu pula Portugis dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor-Timur.
Perlawanan-perlawanan muncul tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi. Pada Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said. Namun berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki peralatan senjata lebih lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi (pelayaran bersenjata lengkap yang di lakukan VOC untuk mengawasi jalannya monopoli agar mencegah pelanggaran monopoli atau perdagangan gelap).
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC (daerah kekuasaan), dan sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore.Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat.

Terjadi perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC). Sultan Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera (Pulau tersebesar di Mauluku). Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC.
Bahkan dalam perlawanan ini Inggris juga memberi dukungan terhadap Sultan Nuku. Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung ambisi Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda. Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).

3. Sultan Agung vs jp. coen

Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram, Pada  masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara lain: mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa.  Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak  untuk melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran.
Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
1.               Tindakan monopoli yang dilakukan VOC
2.               VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram
3.               VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram
4.               Keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius  yang akan berdagang ke Malaka bagi masa depan Pulau Jawa

Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen. Sebagai pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa.Tepat pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia.    Pasukan Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi kompeni VOC berusaha menghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan seperti pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur.

Pasukan  Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul sehingga dapat memukul mundur pasukan dari mataram.      Tumenggung Baureksa sendiri gugur dalam pertempuran itu. Dengan demikian serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil. Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja dialami pasukannya. Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua. Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata. Ia juga membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan makanan seperti di Tegal dan Cirebon.

Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya. Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC.

Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia, yang akhirnya berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia. Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut.

Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan. Dalam situasi yang kritis ini pasukan Belanda semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram

Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian serangan Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan. Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC memang mengalami kegagalan. Tetapi semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya
Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC.Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama.Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya

4. Perlawanan Banten

Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619. Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering melakukan serangan-serangan terhadap VOC.

Tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten. Ia adalah cucu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang wafat pada 1650.Pangeran Surya bergelar Sultan Abu al-Fath Abulfatah. Sultan Abu al-Fath Abdulfatah ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. la berusaha memulihkan posisi Banten sebagai Bandar perdagangan internasional dan sekaligus menandingi perkembangan di Batavia. Beberapa yang dilakukan misalnya mengundang para pedagang Eropa lain seperti Inggris, Perancis, Denmark dan Portugis. 

Sultan Ageng juga mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina. Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak disenangi oleh VOC
Oleh karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai Bandar perdagangan, VOC sering melakukan blokade. Jung-jung Cina dan kapal-kapal dagang dari Maluku dilarang meneruskan perjalanan menuju Banten

Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC. Akibatnya hubungan antara Banten dan Batavia semakin memburuk. Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noordwijk.

Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Selain berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian, saluran irigasi dimaksudkan juga untuk memudahkan transportasi perang.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang banyak dibangun saluran air/irigasi. Oleh karena jasa-jasanya ini maka sultan digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta artinya air). 

Pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, Sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggungjawab terhadap urusan luar negeri di bantu Puteranya yang lain yaitu Pangeran Arya Purbaya.      Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya
Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan sebagai sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada Pangeran Arya Purbaya. Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. Timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat, yaitu :
1.                  Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC
2.                  Monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina
3.                  Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan
4.                  Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali.

Dan Isi perjanjian ini Acc oleh Sultan Haji. Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai. Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan. Sultan Ageng kemudian membangun istana yang baru berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC.
Pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak dan segera meminta bantuan tentara VOC.Datanglah bantuan tentara VOC di bawah pimpinan Francois Tack. Akhirnya Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. 

Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya. Tentara VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak ke arah Bogor. Baru setelah melalui tipu muslihat pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia sampai meninggalnya pada tahun 1692. 

Namun harus diingat bahwa semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah padam. Sultan Ageng telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus berlangsung. Misalnya pada tahun 1750 timbul perlawanan yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus. Perlawanan ini ternyata sangat kuat sehingga VOC kewalahan menghadapi serangan itu. Dengan susah payah akhirnya perlawanan yang dipimpin Ki Tapa dan Ratu Bagus ini dapat dipadamkan

5.Perlawanan Goa

Kerajaan Goa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di Nusantara. Pusat pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan Goa. Goa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan. Masyarakat Goa ingin hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa saja tanpa hak istimewa. Masyarakat Goa senantiasa berpegang pada prinsip hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi semua bangsa”, “Tuhan menciptakan tanah dan laut, tanah dibagikannya untuk semua manusia dan laut adalah milik bersama.” Dengan prinsip keterbukaan itu maka Goa cepat berkembang.

Pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang strategis dalam jalur perdagangan internasional.. Pelabuhan Somba Opu telah berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari timur ke barat atau sebaliknya.Dengan melihat peran dan posisinya yang strategis, VOC berusaha keras untuk dapat mengendalikan Goa dan menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan.
Pada tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal karena perahu-perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah menyusup ke pulau-pulau. Tanggal 7 Juli 1667, meletuslah perang Goa. Tentara VOC yang di kepalai oleh Cornelis Janszoon Spelman di tambah orang Aru Palaka dan orang Ambon (Jonker Van Manipa)  pasukan VOC menyerang goa dari berbagai penjuru.
Pertama pasukan Hasanudin berhasil menghalau tentara VOC, tetapi karena persenjataan mereka lebih lengkap akhirnya VOC dapat mengalahkan Hasanudin dengan ditandai adanya Perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667, yang isinya yaitu:
1.                  Goa harus mengakui hak monopoli VOC
2.                  Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Goa
3.                  Goa harus membayar biaya perang

Tetapi Hasanuddin tidak mau melaksanakan isi perjanjian terebut karena tidak sesuai dengan hati masyarakat Goa. Akhirnya pada tahun 1668 Hasanudin menghimpun kekuatan lagi untuk menyerang VOC. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh VOC, dengan terpaksa akhirnya Hasanudin melaksanakan isi perjanjian Bongaya. Benteng Goa pun jatuh ke tangan VOC dan benteng tersebut akhirnya diberi nama Benteng Rotterdam.

6. Orang-orang Cina Berontak

Sejak abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang ke Jawa. Pada masa kerajaan bercorak hindhu-budha dan islam pun, orang cina sudah tinggal di pesisir bahkan mereka menikah dengan orang jawa.              

VOC sengaja mendatangkan orang Cina untuk ke Jawa agar mendorong kemajuan perekonomian di Jawa. Banyak orang Cina yang datang ke Indonesia dengan keadaan yang miskin. Untuk membatasi orang-orang Cina yang datang ke Batavia, VOC menerapkan aturan yaitu mereka harus mempunyai surat ijin bermukim (permissiebriefjes) atau disebut “surat pas”. Apabila mereka tidak mempunyai surat izin, maka mereka akan dibuang ke Srilanka untuk dipekerjakan di kebun-kebun milik VOC atau dikirim kembali ke negara asal mereka. Mereka diberi waktu 6 bulan untuk mengurus surat ijin tersebut, dan biayanya adalah 2 ringgit perorang.

Dalam pelaksanaannya mengurus surat ijin terjadi penyelewengan yaitu mereka disuruh membayar  dengan harga yang mahal akibatnya banyak yang tidak memiliki surat ijin tersebut


7. Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said

Perlawanan VOC terhadap Mangkubumi dan Mas Said terjadi selama 20 tahun. Persahabatan antara Pakubuwana II (Kerajaan Mataram) dan VOC menimbulkan kekecewaan pada Mas Said, sehingga dia melakukan perlawanan. Raden Mas Said dulunya adalah seorang Gandek Kraton (pegawai rendahan di Istana). Kemudian Raden Mas Said akhirnya mengajukan kenaikan pangkat, pada peristiwa ini Mas Said mendapat hinaan dari kepatihan karena dia juga dituduh sebagai komplotan pemberontakan orang Cina.

Mas Said akhirnya menyusun strategi untuk melakukan perlawanan. Dia dibantu oleh R. Sutawijaya dan Suradiwangsa. Dia menuju ke Nglaroh untuk memulai aksinya. Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini Mas Said terkenal dengan sebutang Pangeran Sumbernyawa. Mas Said mendapatkan dukungan dari masyarakat mataram sehingga membuat resah posisi Pakubuwana II sebagai Raja di Mataram.

Pada tahun 1745, Pakubuwana II memebrikan ultimatum bahwa barang siapa yang dapat menumpas pemebrontakan Mas Said akan diberikan Tanah di Sukowati (wilayah sragen sekarang). Mendengar Ultimatum, Pangeran Mangkubumi mencobanya untuk mengukur kejujuran Pakubuwana II. Mangkubumi adalah adik Pakubuwana II. Mangkubumi berhasil memberantas pemberontakan Mas Sad, tetapi Pakubuwana II ingkar janji (karena bujukan dari patih Pringgalaya). Akhirnya terjadi perselisihan antara Mangkubumi vs Pakubuwana II.

Dalam konflik ini muncullah Van Imhoff (orang VOC) menghina dan menuduh bahwa Mangkubi terlalu ambisi mencari kekuasaan. Tindakan VOC ini membuat Mangkubumi kecewa dan angkat kaki dari istana, dan mulai melancarkan gerakan perlawanan terhadap VOC sekaligus memberikan nasihat pada Pakubuwana II bahwa jangan mau didikte oleh VOC.

Mangkubumi akhirnya pergi ke Sukowati dan menemui Mas Said untuk mengajak kerjasama dalam melawan VOC. Untuk memperkokoh kerjasama, Mas Said dijadikan mennatu oleh Mangkubumi.   Mas Said dan Mangkubumi sepakat membagi wilayah perjuangan. Mas Said ( lokasinya di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowat). Mangkubumi (di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Pleret (termasuk daerah Yogyakarta sekarang). Mangkubumi membawa pasukan 13 ribu prajurit dan 2.500 prajurit kavaleri.
Tahun 1749, Pakubuwana II jatuh sakit dan dalam keadaan sakit ia terpaksa harus menandatangani perjanjian dengan VOC. Resminya perjanjian itu di ttd tangal 11 Desember 1749 antara Pakubuwana II dan Baron van Hohendorff sebagai wakil VOC.

Isi perjanjian tersebut yaitu:
1.                  Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC
2.                  Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta, dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC
3.                  Putera mahkota akan segera dinobatkan

9 hari setelah penandatanganan Pakubuwana II meninggal tepatnya tanggal 15 Desember 1749. Baron Van Hohendorff akhirnya mengangkat putera mahkota sebagai Pakubuwana III. Perjanjian tersebut sebuah tragedi. Perlawanan Mangkubumi berakhir setelah tercapai perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Isi pokok perjanjian Giyanti adalah Mataram harus dibagi 2 yaitu wilayah Barat (Yogyakarta) diberikan kepada Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan hamengkubuwono I dan Bagian Timur (Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III. Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 (isinya : Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I).

Sabtu, 20 Juni 2020

RPP Sejarah Peminatan Kelas X sem Genap

Program Tahunan Sejarah Peminatan

Program Tahunan

Menegakkan Panji Panji NKRI



     Menganalisis Perkembangan dan Tantangan Awal  Kemerdekaan


1.     Kondisi Awal Indonesia Merdeka
Secara politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu mapan. Ketegangan, kekacauan, dan berbagai insiden masih terus terjadi. Hal ini tidak lain karena masih ada kekuatan asing yang tidak rela kalau Indonesia merdeka. Sebagai contoh rakyat Indonesia masih harus bentrok dengan sisasisa kekuatan Jepang. Jepang beralasan bahwa ia diminta oleh Sekutu agar tetap menjaga Indonesia dalam keadaan status quo. 
Di samping menghadapi kekuatan Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris atas nama Sekutu, dan juga NICA (Belanda) yang berhasil datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. Pemerintahan memang telah terbentuk, beberapa alat kelengkapan negara juga sudah tersedia, tetapi karena baru awal kemerdekaan tentu masih banyak kekurangan. PPKI yangkeanggotaannya sudah disempurnakan berhasil mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD dan memilih Presiden-Wakil Presiden.

2.     Kedatangan Sekutu dan Belanda

Tentu kamu masih ingat bagaimana Jepang menyerah kepada Sekutu. Penyerahan Jepang kepada Sekutu tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945 membuat analogi bahwa Sekutu memiliki hak atas kekuasaan Jepang di berbagai wilayah, terutama wilayah yang sebelumnya merupakan jajahan negara-negara yang masuk dalam Sekutu. Belanda adalah salah satu negara yang berada di balik kelompok Sekutu.
Bagaimana dampak kedatangan Sekutu ke Indonesia? Sekutu masuk ke Indonesia melalui beberapa pintu wilayah Indonesia terutama daerah yang merupakan pusat pemerintahan pendudukan Jepang seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Setelah PD II, terjadi perundingan Belanda dengan Inggris di London yang menghasilkan Civil Affairs Agreement. Isinya tentang pengaturan penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada Belanda, khusus yang menyangkut daerah Sumatra, sebagai daerah yang berada di bawah pengawasan SEAC (South East Asia Command). Di dalam
perundingan itu dijelaskan langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut.
1.     Fase pertama, tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban.
2.     Fase kedua, setelah keadaan normal, pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab koloni itu dari pihak Inggris yang mewakili Sekutu.
Setelah diketahui Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus1945, maka Belanda mendesak Inggris agar segera mensahkan hasil perundingan tersebut. Pada tanggal 24 Agustus 1945, hasil perundingan tersebut disahkan.
Berdasarkan persetujuan Potsdam, isi Civil Affairs Agreement diperluas. Inggris bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia termasuk daerah yang berada di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas Command).
Setelah informasi dan persiapan dipandang cukup, maka Louis Mountbatten membentuk pasukan komando khusus yang disebut AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Mereka tergabung di dalam pasukan tentara Inggris yang berkebangsaan India, yang sering disebut sebagai tentara Gurkha. Tugas tentara AFNEI sebagai berikut.
1.     Menerima penyerahan kekuasaan tentara Jepang tanpa syarat.
2.     Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu.
3.     Melucuti dan mengumpulkan orang-orang Jepang untuk dipulangkan ke negerinya.
4.     Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai, menciptakan ketertiban, dan keamanan, untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil.
5.     Mengumpulkan keterangan tentang penjahat perang untuk kemudian diadili sesuai hukum yang berlaku.
Pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI mendarat di Jakarta padatanggal 29 September 1945. Kekuatan pasukan AFNEI dibagi menjadi tigadivisi, yaitu sebagai berikut.
  •     Divisi India 23 di bawah pimpinan Jenderal DC Hawthorn. Daerah tugasnya di Jawa bagian barat dan berpusat di Jakarta.
  •      Divisi India 5 di bawah komando Jenderal EC Mansergh bertugas di Jawa bagian timur dan berpusat di Surabaya.
  •     Divisi India 26 di bawah komando Jenderal HM Chambers, bertugas di Sumatra, pusatnya ada di Medan
3.     Merdeka atau Mati!

Kedatangan Sekutu di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat Indonesia. Apalagi dengan memboncengnya Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Hal ini mengakibatkan berbagai upaya penentangan dan perlawanan dari masyarakat. Bagaimana peristiwa kekerasan akibat kedatangan Sekutu di Indonesia terjadi? Mari kita simak kajian di bawah ini!
1.     Perjuangan rakyat Semarang dalam melawan tentara Jepang
Berita proklamasi terus menyebar ke penjuru tanah air. Pemindahan kekuasaan dari pendudukan Jepang ke Indonesia juga terus dilakukan. Pada tanggal 19 Agustus 1945, sekitar pukul 13.00 WIB berkumandang lewat radio tentang sebuah pernyataan dan perintah agar pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang ke pihak Indonesia terus dilakukan. Hal ini semakin membakar semangat para pemuda Semarang dan sekitarnya untuk melakukan perebutan kekuasaan.
Suasana di Semarang semakin panas. Jepang tidak menghiraukan seruannpemerintahan di Semarang. Pada tanggal 7 Oktober 1945, ribuan pemuda Semarang mengerumuni tangsi tentara Jepang, Kedobutai di Jatingaleh. Ketegangan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Pada tanggal 14 Oktober 1945, sekitar 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring diangkut oleh para pemuda ke penjara Bulu, Semarang. Dalam perjalanan, sebagian dari para tawanan berhasil melarikan diri dan minta perlindungan kepada batalion Kedobutai. Pada tanggal 14 Oktober 1945, pada petang harinya, petugas kepolisian Indonesia yang menjaga persediaan air minum di Wungkal diserang oleh pasukan Jepang. Mereka dilucuti dan disiksa di tangsi Kedobutai Jatingaleh. Kemudian, di jalan Peterongan terdengar kabar bahwa air ledeng di Candi telah diracuni oleh Jepang.
Para pemuda berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya, di Magelang. Tokoh Jepang ini ditahan oleh para pemuda. Hal ini semakin meningkatkan kemarahan Jepang. Pada hari kedua dan ketiga Jepang berusaha dapat menguasai daerah Semarang kembali. Dalam pertempuran itu Jepang membagi pasukannya menjadi tiga kekuatan sebagai berikut.
1.  Poros Barat, sasarannya penduduk markas Kempetai di Karangasem yang telah dikuasai para pemuda. Selain itu, juga untuk menghambat gerakan bantuan pasukan dari Pekalongan dan Kendal.
2.     Poros Tengah, dengan sasaran menguasai markas AMRI di Hotel Du Pavillon.
3.     Poros Timur, dengan sasaran menduduki Sekolah Teknik dan mencegah datangnya bantuan BKR dari Demak, Pati, dan Rembang. Sementara itu, dari pihak Indonesia telah datang bantuan dari berbagai penjuru, baik dari arah Barat (Kendal dan Weleri), juga dari Timur, seperti dari Demak, Kudus, Pati, Purwodadi, bahkan dari Selatan seperti dari Solo, Magelang, dan Yogyakarta.

1.     Pengambilalihan kekuasaan Jepang di Yogyakarta
Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi pemogokan. Mereka memaksa orang-orang Jepang agar menyerahkan semua kantor mereka kepada orang Indonesia. Pada tanggal 27 September 1945, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah itu telah berada di tangan Pemerintahan RI. Kepala Daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang (Cokan) harus meninggalkan kantornya di jalan Malioboro. Tanggal 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung.

1.     Ribuan Nyawa Arek Surabaya untuk Indonesia
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadier Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Brigade ini adalah bagian dari Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas dari panglima Allied forces for Netherlands East Indies (AFNEI) untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu. Kedatangan mereka diterima secara enggan oleh pemimpin pemerintah Jawa Timur, Gubernur Suryo. Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Mallaby, maka dihasilkan kesepakatan:
1.     Inggris berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda,
2.     disetujui kerjasama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman,
3.     akan segera dibentuk “Kontak Biro” agar kerjasama dapat terlaksana sebaik-baiknya, dan
4.     Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja.

Namun pada perkembangan selanjutnya, ternyata pihak Inggris mengingkari janjinya. Pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, peleton dari Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan Kolonel Huiyer—seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda—beserta kawan-kawannya. Tindakan Inggris dilanjutkan pada keesokan harinya dengan menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek
vital lainnya.        
Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata yang pertama antara pemuda Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu meluas, sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945. Dalam pertempuran itu, pasukan Sekutu dapat dipukul mundur, bahkan hampir dapat dihancurkan oleh pasukan Indonesia. Beberapa objek vital yang telah dikuasai oleh pihak Inggris berhasil direbut kembali oleh rakyat.
1.     Pertempuran Palagan Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 29 November dan berakhir pada 15 Desember 1945 antara pasukan TKR dan pemuda Indonesia melawan pasukan Inggris. Latar belakang dari peristiwa ini dimulai dengan insiden yang terjadi di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Oleh pihak RI mereka diperkenankan untuk mengurus tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Ternyata mereka diboncengi oleh tentara Nederland Indische Civil Administration (NICA) yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 pecah insiden Magelang yang berkembang menjadi pertempuran antara TKR dan tentara Sekutu. Insiden itu berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno dan Brigadir Jenderal Bethell di Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan senjata dan tercapai katasepakat yang dituangkan ke dalam 12 pasal, diantaranya:
1.     Pihak Sekutu tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi AlliedPrisoners War and Interneers (APWI-tawanan perang dan interniran Sekutu).
2.     Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia – Sekutu
3.     Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Ternyata pihak Sekutu ingkar janji. Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur. Namun tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR bersama pemuda dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah Magelang pasukan TKR dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan tujuan memukul mundur pasuka Sekutu yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam Adrongi berhasil menduduki Desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya.
1.     Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 November 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatra Utara. Pendaratan pasukan Sekutu itu diboncengi oleh pasukan NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Pemerintahan RI Sumatera Utara memperkenankan mereka menempati beberapa hotel di Medan, seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria dan lainya, karena menghormati tugas mereka. Sebagian dari mereka ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat lainnya dengan memasang tenda-tenda lapangan.
Sehari setelah mendarat, Team dari RAPWI telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulu Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi untuk membantu membebaskan para tawanan dan dikirim keMedan atas persetujuan Gubernur M. Hasan. Ternyata kelompok itu langsung dibentuk menjadi Medan Batalion KNIL. Dengan kekuatan itu, maka tampaklah perubahan sikap dari bekas tawanan tersebut. Mereka bersikap congkak karena merasa sebagai pemenang atas perang. Sikap ini memancing timbulnya pelbagai insiden yang dilakukan secara spontan oleh para pemuda. Insiden pertama terjadi di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Insiden ini berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai oleh salah seorang yang ditemuinya. Akibatnya hotel tersebut diserang dan dirusak oleh para pemuda.
2.     Bandung Lautan Api
Di Bandung pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut pangkalan udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW-sekarang Pindad) dan berlangsung terus sampai kedatangan pasukan Sekutu di Bandung pada 17 Oktober 1945. Seperti halnya di kota-kota lain, di Bandung pun pasukan Sekutu dan NICA melakukan teror terhadap rakyat, sehingga terjadi pertempuran-pertempuran. Menjelang bulan November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan
kedatangan pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Tetapi semangat juang rakyat dan para pemuda yang tergabung dalam TKR, laskar-laskar dan badan-badan perjuangan semakin berkobar. Pertempuran demi pertempuran terjadi.
Pada bulan Oktober di Bandung telah terbentuk Majelis Dewan Perjuangan yang dipimpin panglima TKR, Aruji Kartawinata. Dewan perjuangan ini terdiri dari wakil-wakil TKR dan berbagai kelaskaran. Pada tanggal 21 November 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum agar para pejuang menyerahkansenjata dan mengosongkan Bandung Utara. Ternyata ultimatum itu tidak diindahkan oleh pihak pejuang. Insiden terjadi, para pemuda melakukan penyerobotan terhadap kendaraan-kendaraan Belanda yang berlindung di bawah Sekutu. Penculikan juga sering terjadi.
3.     Berita Proklamasi di Sulawesi
Berita proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Moh. Hatta, sampai pula di Sulawesi. Sam Ratulangi, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi, yang berkedudukan di Makasar mendapat tugas dari PPKI untuk menyusun Komite Nasional Indonesia. sementara itu, para pemuda Sulawesi memperbanyak teks proklamsi untuk disebarluaskan keseluruh pelosok penjuru. Atas inisiatif Manai Shopian dkk, dibuat plakat proklamasi di rumah A. Burhanuddin dan di kantor pewarta Celebes, yang kemudian diganti nama dengan Soeara Indonesia.
Saat itu tentara Sekutu dengan cepat dapat menguasai Indonesia bagian Timur, termasuk Sulawesi. Upaya Sam Ratulangi untuk menyampaikan berita proklamasi ke penjuru Sulawesi mendapat halangan dari tentara Sekutu. Para pemuda mulai mengorganisasi diri dan merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital. Pada tanggal 28 Oktober 1945, kelompok pemuda yang tediri dari bekas Kaigun Heiho dan pelajar SMP, bergerak menuju sasarannya dan mendudukinya. Akibat peristiwa itu pasukan Australia yang telah ada, bergerak dan melucuti para pemuda. Sejak itu pusat gerakan pemuda dipindahkan dari Ujungpandang ke Polombangkeng. Bahkan Sam Ratulangi kemudian ditangkap oleh NICA dan diasingkan ke Serui, Papua.
Berita proklamasi di Sulawesi Tenggara diterima di Kolaka, Kendari. Mulamulaberita diterima oleh kalangan Kaigun dan Heiho yang dibawa oleh tentara Jepang. Saat itu yang bertugas memimpin Heiho adalah Idie Heiso dan Sudamitsu Heiso. Sementara berita proklamasi baru diketahui oleh rakyat Muna, saat Jepang menyerahkan pemerintahan Muna kepada Ode Ipa yang kemudian meninggalkan Muna menuju Kendari. Di Buton berita proklamsi diterima rakyat dari para pelayar yang tiba dari Jakarta dan Bangka serta dari orang-orang Jepang yang datang ke Makasar. Mula-mula berita itu diterima di Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Di Sulawesi Tengah, berita proklamasi diterima pada tanggal 17 Agustus pada pukul 15.00 waktu setempat. Berita itu diterima Abdul Latief dari tentara Jepang yang dikawal dari dua tentara heiho dari Sulawesi Selatan, yaitu Saleh Topetu dan Djafar. Perwira itu mengatakan “ Bangsa Indonesia sudah merdeka”.
4.     Operasi Lintas Laut Banyuwangi – Bali
Operasi lintas Laut Banyuwangi-Bali merupakan operasi gabungan dan pertempuran laut pertama sejak berdirinya negara Republik Indonesia. peristiwa itu dimulai dengan kedatangan Belanda dengan membonceng Sekutu, mendarat di Bali dengan jumlah pasukan yang cukup besar, tanggal 3 Maret 1946. Hal ini dimaksudkan Bali sebagai batu loncatan untuk menyerbu Jawa Timur yang dinilai sebagai lumbung pangan untuk kemudian mengepung pusat kekuasaan RI. Bali juga dapat dijadikan penghubung ke arah Australia.
Dengan perkembangan di atas, maka telah mengalihkan konfrontasi dari Indonesia melawan Jepang berganti menjadi Indonesia melawan Belanda. Berkaitan dengan hal tersebut, maka para pemimpin perjuangan yang sudah sampai di Jawa berusaha mencari bantuan dan membentuk kesatuankesatuan tempur. Mereka antara lain telah membentuk Pasukan Makardi atau Pasukan Merdeka sebagai pasukan induk. Pasukan itu kemudian lebih dikenal dengan nama Pasukan M. Kapten Makardi sebelumnya bertugas mendampingi Kolonel Prabowo, Kolonel Munadi dan Letkol I Gusti Ngurah Rai ke markas besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan, karena makin lemahnya kekuatan TRI Sunda Kecil di Bali.

Mengevaluasi Perjuangan Bangsa: Antara Perang
dan Damai

1.     Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Perjanjian itu melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta Inggris sebagai penengah. Tokoh-tokoh dalam perundingan itu adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dari Inggris, seorang diplomat senior serta mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang kemudian diangkat sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia.
Wakil dari Belanda adalah Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Sjahrir. Sebelumnya perundingan Linggarjati sudah dilakukan beberapa kali perundingan baik di Jakarta maupun di Belanda. namun usaha-usaha untuk mencapai kesepakatan belum memenuhi harapan baik bagi pihak Indonesia maupun bagi pihak Belanda. Usaha itu mengalami kegagalan karena masingmasing pihak mempunyai pendapat yang berbeda.
Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden dan konfrontasi dengan semakin banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia. Konfrontasi itu menyebabkan pihak sekutu ingin segara mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi kekerasan di kota besar di Indonesia, terutama pertempuran sengit di Surabaya. Pihak sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetap tidak mungkin melepaskan tanggungjawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.
2.     Perundingan Awal di Jakarta
Pada tanggal I Oktober 1945, telah diadakan perundingan antara Christison (Inggris) dengan pihak Republik Indonesia Dalam perundingan ini Christison mengakui secara de facto terhadap Republik Indonesia Hal ini pula yang memperlancar gerak masuk Sekutu ke wilayah Indonesia. Kemudian, pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945 mengeluarkan maklumat politik. Isinya bahwa pernerintah RI menginginkan pengakuan terhadap negara dan pernerintah RI, baik oleh Inggris maupun Belanda sebagaimana yang dibuat sebelum PD II.
Pemerintah RI juga berjanji akan mengembalikan sernua milik asing atau memberi ganti rugi atas milik yang telah dikuasai oleh pernerintah RI. Inggris yang ingin melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugas-tugasnya di Indonesia, mendorong agar segera diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda. Oleh karena itu, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Di bawah pengawasan dan perantaraan Clark Kerr, pada tanggaI 10 Februari 1946 diadakan perundingan Indonesia dengan Belanda di Jakarta. Dalarn perundingan ini Van Mook selaku wakil dari Belanda mengajukan usul-usul antara. lain sebagai berikut.
1.     Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi, memiliki pemerintahan sendiri tetapi di dalarn lingkungan Kerajaan Nederland (Belanda).
2.     Masalah dalam negeri di urus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri ditangani oleh pernerintah Belanda.
3.     Sebelum dibentuk persemakmuran, akan dibentuk pemerintahan peralihan selama sepuluh tahun.
4.     Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.
Ternyata mayoritas suara anggota KNIP menentang kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Syahrir. Oleh karena itu, Kabinet Syahrir jatuh. Presiden Sukarno kemudian menunjuknya kembali sebagai Perdana Menteri. Kabinet Syahrir II teribentuk pada tanggal 13 Maret 1946. Kabinet Syahrir II mengajukan usul balasan dari usul-usul Van Mook. Usul-usul Kabinet Syahrir II antara lain sebagai berikut :

  1.    RI  harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah Hindia  Belanda..     Federasi Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu. Mengenai urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas orang-orang Indonesiadan Belanda.
  2.      Tentara Belanda segera ditarik kembali dari republik.
  3.    Pemerintah Belanda harus-membantu pemerintah Indonesia untuk menjadi    anggota PBB.
  4.           Selama perundingan sedang terjadi, semua aksi militer harus dihentikan.
3.     Perundingan Hooge Valuwe
Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Pokok pembicaraan dalam perundingan itu adalah memutus pembicaraan yang dilakukan di Jakarta oleh Van Mook dan Syahrir. Sebagai penengah dalam perundingan, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Pada kesempatan itu Syahrir mengirim tiga orang delegasi dari Jakarta, yaitu Mr. W. Suwandi, dr. Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo. Mereka berangkat bersama Kerr pada 4 April 1946. Dari Belanda hadir lima orang yaitu Van Mook, J.H. van Royen. J.H.Logeman, Willem Drees, dan Dr. Schermerhorn. Perundingan tersebut untuk menyelesaikan perundingan yang tidak tuntas saat di Jakarta.
Kegagalan perundingan Hooge Valuwe bagi kedua negara membawa untuk dilakukan kembali perundingan selanjutnya. Bagi Indonesia perundingan Hooge Valuwe memperkuat posisi Indonesia didepan Belanda. Perundingan itu juga menjadikan masalah Indonesia menjadi perhatian dunia internasional. Perundingan itu pula yang mengantarkan pada diplomasi internasional dalam Perjanjian Linggarjati pada kemudian hari.
1.     Pelaksanaan Perundingan Linggarjati
Kegagalan dalam perundingan Hoge, pada April 1946, menjadikan pemerintah Indonesia untuk beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia berpendapat perlu melakukan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan Sumatera. Namun genjatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara lama dan gerilya tidak membawa perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan banyaknya korban yang berjatuhan. Untuk mencagah bertambahnya korban pada bulan Agustus hingga September 1946 direncanakan untuk menyusun konsep perang secara defensif. Bagi Sukarno, Hatta, dan Syahrir perlawan dengan strategi perang defentif itu lebih beresiko dibandingkan dengan cara-cara lama, karena akan memakan korban lebih banyak lagi. Menurut mereka pengakuan kedaulatan Republik Indonesia lebih baik dilakukan dengan jalan diplomasi.
Dalam perundingan itu dihasilkan kesepakatan yang terdiri dari 17 pasal. Isi pokok Perundingan Linggarjati antara lain sebagai berikut :
1.     Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera. Daerahdaerahyang diduduki Sekutu atau Belanda secara berangsur-angsurakan dikembalikan kepada RI.
2.     Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara berdaulat.
3.     Pemerintah Belanda dan RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh raja Belanda.
4.     Pembentukan NIS dan Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949.
5.     Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi hak milik asing.
6.     Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara.
7.     Bila terjadi perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini, akan menyerahkan masalahnya kepada Komisi Arbitrase.
1.     Konferensi Malino
Dalam situasi politik yang tidak menentu di Indonesia, Belanda melakukan tekan politik dan militer di Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi Malino, yang bertujuan untuk membentuk negara-negara federal di daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Disamping itu, di Pangkal Pinang, Bangka diselenggarakan konferensi untuk golongan minoritas. Konferensi Malino diselenggarakan pada 15-26 juli 1946, sedangkan Konferensi Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Diharapkan daerah-daerah ini akan mendukung Belanda dalam pembentukan negara federasi. Di samping itu, Belanda juga terus mengirim pasukannya memasuki Indonesia. Dengan demikian kadar permusuhan antara kedua belah pihak semakin meningkat. Namun usahausaha diplomasi terus dilakukan. Sebagai contoh tanggal 14 Oktober 1946 tercapai persetujuan gencatan senjata. Usaha-usaha perundingan pun terus diupayakan.
Rapat itu diberi nama Bijeenkomst voor federal Overleg (BFO), yaitu suatu pertemuan untuk Musyawarah Federal. Pengambil inisiatif BFO itu adalah Ida Agung Gde Agung, seorang perdana menteri Negara Indonesia Timur. juga R.T. Adil Puradiredja, seorang perdana menteri Negara Pasunan. BFO itu dimaksudkan untuk mencari solusi dari situasi politik yang genting akibat dari perkembangan politik antara Belanda dan RI yang juga berpengaruh pada perkembangan negara-negara bagian. Pertemuan Bandung juga dirancang untuk menjadikan pemerintahan peralihan yang lebih baik daripada pemerintahan Federal Sementara buatan Van Mook. (kamu dapat membaca lebih lanjut tentang peran BFO dalam perjuangan diplomasi pada buku Taufik Abdullah dan A.B.Lapian (ed) atau buku-buku yang lain).

2.     Agresi Militer Belanda I
Di tengah-tengah upaya mencari kesepakatan dalam pelaksanaan isi Persetujuan Linggarjati, ternyata Belanda terus melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan isi Persetujuan Linggarjati. Di samping mensponsori pembentukan pemerintahan boneka, Belanda juga terus memasukkan kekuatan tentaranya. Belanda pada tanggal 27 Mei 1947 mengirim nota ultimatum yang isinya antara lain sebagai berikut.
1.     Pembentukan Pemerintahan Federal Sementara (Pemerintahan Darurat) secara bersama.
2.     Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri.
3.     Dewan Urusan Luar Negeri, bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa.
4.     Pembentukan Pasukan Keamanan dan Ketertiban Bersama (gendarmerie), Pembentukan Pasukan Gabungan ini termasuk juga di wilayah RI.
Pada tanggal 21 Juli 1947 tengah malam, pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisional’ mereka yang pertama. Pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian Belanda menguasai semua pelabuhan di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batu bara di sekitar Palembang dan Padang diamankan. Pasukan-pasukan Republik bergerak mundur dalam kebingungan dan menghancurkan apa saja yang dapat mereka hancurkan.
3.     Komisi Tiga Negara sebagai mediator yang berharga
Masalah Indonesia-Belanda telah dibawa dalam sidang-sidang PBB. Hal ini menunjukkan bahwa masalah Indonesia telah menjadi perhatian bangsabangsa dunia. Kekuatan Indonesia di forum internasionalpun semakin kuat dengan kecakapan para diplomator Indonesia yang meyakinkan negara-negara lain bahwa kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya dimiliki bangsa Indonesia. Tentu saja bahwa kepercayaan bukan disebabkan oleh para diplomator saja. Perjuangan rakyat Indonesia adalah bukti bahwa
kemerdekaan merupakan kehendak seluruh rakyat Indonesia. PBB sebagai organisasi internasional berperan aktif menyelesaikan konflik antara RI dengan Belanda. Berikut ini beberapa peran PBB dalam penyelesaian konflik Indonesia Belanda 
4.     Perjanjian Renville
Komisi Tiga Negara tiba di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947 dan segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat. Indonesia dan Belanda kemudian menerima tawaran Amerika Serikat.
Perundingan Renville secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di kapal Renville yang sudah berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Indonesia menyetujui isi Perundingan Renville yang terdiri dari tiga hal sebagai berikut.
1.    Persetujuan tentang gencatan senjata yang antara lain diterimanya garis demarkasi Van Mook (10 pasal).
2.    Dasar-dasar politik Renville, yang berisi tentang kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara damai (12 pasal)
3.    Enam pasal tambahan dari KTN yang berisi, antara lain tentang kedaulatan Indonesia yang berada di tangan Belanda selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan (6 pasal).
5.     Agresi Militer II : Tekad Belanda Melenyapkan RI
Sebelum macetnya perundingan Renville sudah ada tanda-tanda bahwa Belanda akan melanggar persetujuan Renville. Oleh karena itu pemerintah RI dan TNI sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan malakukan aksi militernya untuk menghancurkan RI dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi kekuatan Belanda, maka dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dan Hidayat.
Seperti yang telah diduga sebelumnya, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Sebelum pasukan Belanda begerak lebih jauh, Van Langen (wakil jenderal Spoor) berbisik kepada Van Beek (komandan lapangan agresi II): “overste tangkap Sukarno, Hatta, dan Sudirman, mereka bertiga masih ada di istana”, demikian perintah pimpinan Belanda terhadap ketiga pimpinan nasional kita. Agresi militer II itu telah menimbulkan bencana militer maupun politik bagi mereka walaupun mereka tampak memperoleh kemenangan dengan mudah. Dengan taktik perang kilat, Belanda melancarkan serangan di semua front RI. Serangan diawali dengan penerjunan pasukan-pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo dan dengan cepat berhasil menduduki ibu kota Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota, meskipun mereka tahu akan ditawan musuh. Alasannya, agar mereka dengan mudah ditemui oleh TNI, sehingga kegiatan diplomasi dapat berjalan terus. Disamping itu, Belanda tidak mungkin melancarkan serangan secara terusmenerus, karena Presiden dan wakil Presiden sudah ada di tangan musuh.
6.     Peranan PDRI sebagai Penjaga Eksistensi RI
Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, Presiden Sukarno telah membuat mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintah darurat. Sukarno mengirimkan mandat serupa kepada Mr. Maramis dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di New Delhi, India apabila pembentukan PDRI di Sumatra mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin berhasil mendeklarasi berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 19 Desember 1948.
Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut.
1.     Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap PerdanaMenteri, Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan.
2.     Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, dan Menteri Agama.
3.     Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan dan Pemuda.
4.     Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman.
5.     Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan.
6.     Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI.
7.     Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar.
8.     Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa.
9.     Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra.
PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara ternyata berhasil memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan dan menegakkan pemerintah RI.
7.     Terus memimpin gerilya
Kalau para pemimpin pemerintahan seperti Presiden Sukarno, wakil Presiden Moh. Hatta dan beberapa menteri ditangkap Belanda, Panglima Besar Sudirman yang dalam kondisi sakit paru-paru justru memimpin perang gerilya. Ia dan rombongan melakukan perjalanan dan pergerakan dari Yogyakarta menuju Gunungkidul dengan melewati beberapa kecamatan, menuju Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek dan Kediri. Dalam gerakan gerilya dengan satu paru-paru Sudirman kadang harus ditandu atau dipapah oleh pengawal masuk hutan, naik gunung, turun jurang harus memimpin pasukan, memberikan motivasi dan komando kepada TNI dan para pejuang untuk terus mempertahankan tegaknya panji-panji NKRI. Dari Kediri lalu memutar kembali melewati Trenggalek, terus melakukan perjalanan sampai akhirnya di Sobo. Di tempat ini telah dijadikan markas gerilya sampai saat Presiden dan wakil Presiden dengan beberapa menteri kembali ke Yogyakarta. Sungguh heroik perjalanan Sudirman. Ia telah menempuh perjalanan kurang lebih 1000 km. Waktu gerilya mencapai enam bulan dengan penuh derita, lapar dan dahaga. Sudirman tidak lagi memimikirkan harta, jiwa dan raganya semua dikorbankan demi tegaknya kedaulatan bangsa dan Negara.
8.     Peranan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk Menunjukkan Eksistensi TNI
Pihak Belanda ternyata tidak mau segera menerima resolusi DK PBB, tanggal
28 Januari 1949. Belanda masih mengakui bahwa RI sebenarnya tinggal nama. RI sudah tidak ada, yang ada hanyalah para pengacau. Sementara itu, Sri Sultan Hamengkubuwana IX lewat radio menangkap berita luar negeri tentang rencana DK PBB yang akan mengadakan sidang lagi pada bulan Maret 1949, untuk membahas perkembangan di Indonesia. Sri Sultan berkirim surat kepada Jenderal Sudirman tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap Belanda. Sudirman minta agar Sri Sultan membahasnya dengan komandan TNI setempat, yakni Letkol Soeharto. Segera penyerangan terhadap Belanda di Yogyakarta dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949 dini hari.Walaupun hanya sekitar enam jam pasukan Indonesia berhasil mendudukikota Yogyakarta, namun serangan ini sangat berarti bagi bangsa Indonesia. Selain mengobarkan semangat rakyat kembali juga menunjukkan kepada dunia bahwa negara Indonesia masih mempunyai kekuatan. Pada waktu itu di Yogyakarta ada beberapa wartawan asing yang peranannya sangat besar dalam menginformasikan keadaan Indonesia kepada dunia.
9.     Belanda semakin terjepit dalam Persetujuan Roem- Royen
Serangan Umum 1Maret 1949 yang dilancarkan oleh para pejuang Indonesia, telah membuka mata dunia bahwa propaganda Belanda itu tidak benar. RI dan TNI masih tetap ada. Namun Belanda tetap membandel dan tidak mau melaksanakan resolusi DK PBB 28 Januari. Perundingan pun menjadi macet. Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas dan terus mendesak agar Belanda mau melaksanakan resolusi tanggal 28 Januari. Amerika Serikat berhasil mendesak Belanda, untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia.
Merle Cochran, wakil dari AS di UNCI mendesak agar Indonesia mau melanjutkan perundingan. Waktu itu Amerika Serikat menekan Indonesia, kalau Indonesia menolak, Amerika tidak akan memberikan bantuan dalam bentuk apa pun. Perundingan segera dilanjutkan pada tanggal 1 Mei 1949. Kemudian pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai Persetujuan Roem-Royen. Isi Persetujuan Roem-Royen antara lain sebagai berikut.
1.     Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat (NIS), tanpa syarat.
2.     Pihak Belanda menyetujui kembalinya RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. Belanda juga berjanji tidak akan mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum Desember 1948, serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.
Setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang Kabinet RI yang pertama. Pada kesempatan itu, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada wakil presiden Moh. Hatta. Dalam sidang kabinet juga diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkobuwono IX menjadi Menteri Pertahanan merangkap Ketua Koordinator Keamanan.