Selasa, 18 Agustus 2020

Perang Melawan Keserakahan Eropa

 

Perang Melawan Keserakahan Kongsi Dagang (abad ke-16 sampai abad ke-18)



Perang Melawan Keserakahan Kongsi Dagang
(abad ke-16 sampai abad ke-18)

perang melawan kongsi dagang abad 16-18

1. Aceh Versus Portugis dan VOC

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman. oleh karena itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh.
Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul pada tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun berada. Misalnya, pada saat kapal-kapal dagang Aceh sedang berlayar di Laut Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal-kapal Portugis untuk ditangkap. Tindakan Portugis telah merampas kedaulatan Aceh yang ingin bebas dan berdaulat berdagang dengan siapa saja
Langkah-langkah Aceh dalam menghalau tentara Portugis, antara lain:

  • Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit
  • Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567
  • Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara


Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat. Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya.
·         Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit
  • Pasukan kavaleri (pasukan berkuda)dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia, bahkan Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri (pasukan muda yang berjalan kaki di sekeliling para ksatria yang  menunggang kuda)
  • Pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan
  • Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda.
  • Namun, serangan Aceh kali ini juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka
  • Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi
  • Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
  • Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah VOC (Belanda)
2. Maluku Angkat Senjata

Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1512. Mereka memusatkan aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orang-orang Spanyol tahun 1521 juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak.Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan Spanyol bersahabat dengan Tidore.
 
Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung (kapal layar) dari Banda yang akan membeli cengkeh ke Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis.
Dalam perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan, dan akhirnya Portugis mendapat kemenangan. Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku.Upaya monopoli terus dilakukan. Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat.

Untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol dilaksanakan perjanjian damai, yakni Perjanjian Saragosa. Dengan adanya Perjanjian Saragosa kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat dan juga semakin mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku
Pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun. Penyebab munculnya perlawanan antara portugis dan ternate, yaitu:
   1. Portugis memonopoli maluku
   2. adanya campur tangan Portugis dalam urusan pemerintahan
   3. Bangsa Portugis menyebarkan agama Kristen Katolik
   4. Kesombongan Portugis dalam memandang rendah penduduk Maluku

Sultan Hairun menyerukkan semua rakyat dari Papua sampai Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman Portugis. Portugis mulai kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis. Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis. Pada saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Hairun ditangkap dan dibunuh.
Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Hairun). Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis. 

Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon sampai tahun 1605. Tahun itu pula Portugis dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor-Timur.
Perlawanan-perlawanan muncul tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi. Pada Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said. Namun berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki peralatan senjata lebih lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi (pelayaran bersenjata lengkap yang di lakukan VOC untuk mengawasi jalannya monopoli agar mencegah pelanggaran monopoli atau perdagangan gelap).
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC (daerah kekuasaan), dan sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore.Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat.

Terjadi perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC). Sultan Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera (Pulau tersebesar di Mauluku). Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC.
Bahkan dalam perlawanan ini Inggris juga memberi dukungan terhadap Sultan Nuku. Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung ambisi Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda. Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).

3. Sultan Agung vs jp. coen

Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram, Pada  masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara lain: mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa.  Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak  untuk melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran.
Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
1.               Tindakan monopoli yang dilakukan VOC
2.               VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram
3.               VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram
4.               Keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius  yang akan berdagang ke Malaka bagi masa depan Pulau Jawa

Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen. Sebagai pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa.Tepat pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia.    Pasukan Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi kompeni VOC berusaha menghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan seperti pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur.

Pasukan  Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul sehingga dapat memukul mundur pasukan dari mataram.      Tumenggung Baureksa sendiri gugur dalam pertempuran itu. Dengan demikian serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil. Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja dialami pasukannya. Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua. Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata. Ia juga membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan makanan seperti di Tegal dan Cirebon.

Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya. Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC.

Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia, yang akhirnya berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia. Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut.

Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan. Dalam situasi yang kritis ini pasukan Belanda semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram

Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian serangan Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan. Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC memang mengalami kegagalan. Tetapi semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya
Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC.Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama.Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya

4. Perlawanan Banten

Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619. Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering melakukan serangan-serangan terhadap VOC.

Tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten. Ia adalah cucu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang wafat pada 1650.Pangeran Surya bergelar Sultan Abu al-Fath Abulfatah. Sultan Abu al-Fath Abdulfatah ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. la berusaha memulihkan posisi Banten sebagai Bandar perdagangan internasional dan sekaligus menandingi perkembangan di Batavia. Beberapa yang dilakukan misalnya mengundang para pedagang Eropa lain seperti Inggris, Perancis, Denmark dan Portugis. 

Sultan Ageng juga mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina. Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak disenangi oleh VOC
Oleh karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai Bandar perdagangan, VOC sering melakukan blokade. Jung-jung Cina dan kapal-kapal dagang dari Maluku dilarang meneruskan perjalanan menuju Banten

Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC. Akibatnya hubungan antara Banten dan Batavia semakin memburuk. Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noordwijk.

Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Selain berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian, saluran irigasi dimaksudkan juga untuk memudahkan transportasi perang.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang banyak dibangun saluran air/irigasi. Oleh karena jasa-jasanya ini maka sultan digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta artinya air). 

Pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, Sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggungjawab terhadap urusan luar negeri di bantu Puteranya yang lain yaitu Pangeran Arya Purbaya.      Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya
Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan sebagai sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada Pangeran Arya Purbaya. Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. Timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat, yaitu :
1.                  Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC
2.                  Monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina
3.                  Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan
4.                  Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali.

Dan Isi perjanjian ini Acc oleh Sultan Haji. Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai. Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan. Sultan Ageng kemudian membangun istana yang baru berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC.
Pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak dan segera meminta bantuan tentara VOC.Datanglah bantuan tentara VOC di bawah pimpinan Francois Tack. Akhirnya Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. 

Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya. Tentara VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak ke arah Bogor. Baru setelah melalui tipu muslihat pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia sampai meninggalnya pada tahun 1692. 

Namun harus diingat bahwa semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah padam. Sultan Ageng telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus berlangsung. Misalnya pada tahun 1750 timbul perlawanan yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus. Perlawanan ini ternyata sangat kuat sehingga VOC kewalahan menghadapi serangan itu. Dengan susah payah akhirnya perlawanan yang dipimpin Ki Tapa dan Ratu Bagus ini dapat dipadamkan

5.Perlawanan Goa

Kerajaan Goa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di Nusantara. Pusat pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan Goa. Goa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan. Masyarakat Goa ingin hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa saja tanpa hak istimewa. Masyarakat Goa senantiasa berpegang pada prinsip hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi semua bangsa”, “Tuhan menciptakan tanah dan laut, tanah dibagikannya untuk semua manusia dan laut adalah milik bersama.” Dengan prinsip keterbukaan itu maka Goa cepat berkembang.

Pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang strategis dalam jalur perdagangan internasional.. Pelabuhan Somba Opu telah berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari timur ke barat atau sebaliknya.Dengan melihat peran dan posisinya yang strategis, VOC berusaha keras untuk dapat mengendalikan Goa dan menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan.
Pada tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal karena perahu-perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah menyusup ke pulau-pulau. Tanggal 7 Juli 1667, meletuslah perang Goa. Tentara VOC yang di kepalai oleh Cornelis Janszoon Spelman di tambah orang Aru Palaka dan orang Ambon (Jonker Van Manipa)  pasukan VOC menyerang goa dari berbagai penjuru.
Pertama pasukan Hasanudin berhasil menghalau tentara VOC, tetapi karena persenjataan mereka lebih lengkap akhirnya VOC dapat mengalahkan Hasanudin dengan ditandai adanya Perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667, yang isinya yaitu:
1.                  Goa harus mengakui hak monopoli VOC
2.                  Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Goa
3.                  Goa harus membayar biaya perang

Tetapi Hasanuddin tidak mau melaksanakan isi perjanjian terebut karena tidak sesuai dengan hati masyarakat Goa. Akhirnya pada tahun 1668 Hasanudin menghimpun kekuatan lagi untuk menyerang VOC. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh VOC, dengan terpaksa akhirnya Hasanudin melaksanakan isi perjanjian Bongaya. Benteng Goa pun jatuh ke tangan VOC dan benteng tersebut akhirnya diberi nama Benteng Rotterdam.

6. Orang-orang Cina Berontak

Sejak abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang ke Jawa. Pada masa kerajaan bercorak hindhu-budha dan islam pun, orang cina sudah tinggal di pesisir bahkan mereka menikah dengan orang jawa.              

VOC sengaja mendatangkan orang Cina untuk ke Jawa agar mendorong kemajuan perekonomian di Jawa. Banyak orang Cina yang datang ke Indonesia dengan keadaan yang miskin. Untuk membatasi orang-orang Cina yang datang ke Batavia, VOC menerapkan aturan yaitu mereka harus mempunyai surat ijin bermukim (permissiebriefjes) atau disebut “surat pas”. Apabila mereka tidak mempunyai surat izin, maka mereka akan dibuang ke Srilanka untuk dipekerjakan di kebun-kebun milik VOC atau dikirim kembali ke negara asal mereka. Mereka diberi waktu 6 bulan untuk mengurus surat ijin tersebut, dan biayanya adalah 2 ringgit perorang.

Dalam pelaksanaannya mengurus surat ijin terjadi penyelewengan yaitu mereka disuruh membayar  dengan harga yang mahal akibatnya banyak yang tidak memiliki surat ijin tersebut


7. Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said

Perlawanan VOC terhadap Mangkubumi dan Mas Said terjadi selama 20 tahun. Persahabatan antara Pakubuwana II (Kerajaan Mataram) dan VOC menimbulkan kekecewaan pada Mas Said, sehingga dia melakukan perlawanan. Raden Mas Said dulunya adalah seorang Gandek Kraton (pegawai rendahan di Istana). Kemudian Raden Mas Said akhirnya mengajukan kenaikan pangkat, pada peristiwa ini Mas Said mendapat hinaan dari kepatihan karena dia juga dituduh sebagai komplotan pemberontakan orang Cina.

Mas Said akhirnya menyusun strategi untuk melakukan perlawanan. Dia dibantu oleh R. Sutawijaya dan Suradiwangsa. Dia menuju ke Nglaroh untuk memulai aksinya. Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini Mas Said terkenal dengan sebutang Pangeran Sumbernyawa. Mas Said mendapatkan dukungan dari masyarakat mataram sehingga membuat resah posisi Pakubuwana II sebagai Raja di Mataram.

Pada tahun 1745, Pakubuwana II memebrikan ultimatum bahwa barang siapa yang dapat menumpas pemebrontakan Mas Said akan diberikan Tanah di Sukowati (wilayah sragen sekarang). Mendengar Ultimatum, Pangeran Mangkubumi mencobanya untuk mengukur kejujuran Pakubuwana II. Mangkubumi adalah adik Pakubuwana II. Mangkubumi berhasil memberantas pemberontakan Mas Sad, tetapi Pakubuwana II ingkar janji (karena bujukan dari patih Pringgalaya). Akhirnya terjadi perselisihan antara Mangkubumi vs Pakubuwana II.

Dalam konflik ini muncullah Van Imhoff (orang VOC) menghina dan menuduh bahwa Mangkubi terlalu ambisi mencari kekuasaan. Tindakan VOC ini membuat Mangkubumi kecewa dan angkat kaki dari istana, dan mulai melancarkan gerakan perlawanan terhadap VOC sekaligus memberikan nasihat pada Pakubuwana II bahwa jangan mau didikte oleh VOC.

Mangkubumi akhirnya pergi ke Sukowati dan menemui Mas Said untuk mengajak kerjasama dalam melawan VOC. Untuk memperkokoh kerjasama, Mas Said dijadikan mennatu oleh Mangkubumi.   Mas Said dan Mangkubumi sepakat membagi wilayah perjuangan. Mas Said ( lokasinya di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowat). Mangkubumi (di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Pleret (termasuk daerah Yogyakarta sekarang). Mangkubumi membawa pasukan 13 ribu prajurit dan 2.500 prajurit kavaleri.
Tahun 1749, Pakubuwana II jatuh sakit dan dalam keadaan sakit ia terpaksa harus menandatangani perjanjian dengan VOC. Resminya perjanjian itu di ttd tangal 11 Desember 1749 antara Pakubuwana II dan Baron van Hohendorff sebagai wakil VOC.

Isi perjanjian tersebut yaitu:
1.                  Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC
2.                  Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta, dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC
3.                  Putera mahkota akan segera dinobatkan

9 hari setelah penandatanganan Pakubuwana II meninggal tepatnya tanggal 15 Desember 1749. Baron Van Hohendorff akhirnya mengangkat putera mahkota sebagai Pakubuwana III. Perjanjian tersebut sebuah tragedi. Perlawanan Mangkubumi berakhir setelah tercapai perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Isi pokok perjanjian Giyanti adalah Mataram harus dibagi 2 yaitu wilayah Barat (Yogyakarta) diberikan kepada Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan hamengkubuwono I dan Bagian Timur (Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III. Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 (isinya : Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I).